Kisah Sunarhadi, Tukang Becak yang Temukan Ketenangan Hidup Melalui JKN

Sunarhadi

Jatengposnews.com Pati,- Sunarhadi, 67 tahun warga Wedari Jaksa Kabupaten Pati, dikenal warga sekitarnya sebagai tukang becak yang setia. Bila tidak ada penumpang ia memilih membantu pengguna jalan raya dan pejalan kaki agar dapat menyeberang, peran yang akrab disebut warga sebagai “pak ogah”. Di balik sikap ramahnya, ia menanggung tanggung jawab besar yaitu menafkahi istri dan dua anak yang masih bergantung padanya.

“Saya harus kerja setiap hari, Nak. Kalau tidak ada penumpang, saya bantu orang nyeberang supaya ada rezeki sukarela. Yang penting halal, bisa buat makan keluarga,” ujar Sunarhadi di lokasi tempatnya biasa menunggu penumpang.

Dari cerita itu terkuak betapa rapuhnya penghasilan harian yang menjadi sandaran hidupnya. Rata-rata dalam sehari hasil menarik becak hanya berkisar antara Rp. 20.000 sampai Rp. 30.000. Sebagai sukarelawan penyebrangan jalan, ia hanya menerima upah sukarela yang tidak tentu besar dan frekuensinya. Pernah suatu hari ia pulang hanya membawa uang Rp. 5.000 sebuah angka yang membuatnya menangis di dalam hati karena tahu jumlah itu tak seberapa untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Pernah pulang cuma bawa lima ribu. Waktu itu saya sampai nangis, tapi ya sudahlah, saya harus sabar dan jalan terus,” katanya lagi, suaranya bergetar saat mengingat malam-malam ketika rumah hanya berisi rasa cemas menunggu rezeki esok hari.

Meski hidupnya dipenuhi ketidakpastian ekonomi, Sunarhadi menyebut ada satu penopang yang membuatnya lega, ia tercatat sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran Program Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JK) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Keikutsertaannya dalam JKN memberi arti besar ketika ancaman sakit datang sebab biaya pengobatan yang tinggi kerap menjadi beban terbesar bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

“Saya ini penghasilan pas-pasan, kadang narik becak nggak tentu hasilnya. Tapi saya bersyukur, setidaknya untuk urusan berobat sudah ada JKN dan iurannya dibayar oleh pemerintah,” tutur Sunarhadi dengan mata berkaca-kaca.

Ia bercerita pengalamannya saat harus menjalani perawatan di rumah sakit, semua biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS Kesehatan sehingga ia tak perlu meminjam atau mengumpulkan uang dalam kondisi lemah. Pengalaman itu, menurutnya, menimbulkan rasa syukur yang mendalam dan menghapus sebagian besar kecemasan tentang risiko kesehatan di masa tua.

“Waktu itu, saya dirawat di rumah sakit, saya tidak keluar uang sama sekali. Semua ditanggung BPJS. Kalau tidak ada JKN, mungkin saya dan keluarga sudah pusing tujuh keliling,” ujarnya, mengenang hari-hari ketika tubuhnya tak lagi sekuat dulu.

Bagi Sunarhadi, JKN bukan sekadar program melainkan nafas yang meredakan salah satu sisi berat kehidupan. Ia membayangkan betapa sulitnya hidup jika harus menanggung biaya rumah sakit sendiri, untuk orang sepertinya. Biaya medis besar bisa menghancurkan ekonomi keluarga. Karena itu, ia berharap program JKN terus berkelanjutan agar semakin banyak warga kecil yang terlindungi.

“Saya berharap yang belum daftar segera daftar. Jangan tunggu sakit. Kalau sudah sakit, biaya pengobatan bisa membuat keluarga kita terkena imbasnya,” pinta Sunarhadi pada akhir perbincangan, suaranya penuh harap agar tetangga dan warga lain tak lagi menolak atau menunda kepesertaan JKN.

Di usia senja, dengan tangan yang keriput dan tubuh yang tak lagi prima, Sunarhadi tetap mengayuh becak dan membantu orang menyeberang sebuah rutinitas yang menegaskan martabatnya sebagai manusia pekerja. Di bawah kepedulian negara melalui JKN, beban hidupnya tak lagi hanya tentang angka rupiah yang menipis, melainkan juga tentang rasa tenang yang tak ternilai.

“Saya hidup sederhana, tapi bersyukur masih ada JKN. Itu membuat saya bisa tidur lebih tenang, tidak selalu takut kalau tiba-tiba sakit. Terimakasih BPJS Kesehatan” tutupnya dengan senyuman dan tampak penuh Syukur.


Posting Komentar untuk "Kisah Sunarhadi, Tukang Becak yang Temukan Ketenangan Hidup Melalui JKN"